LABUHANBATU, kabari.net – Kasus pencabulan kembali mengguncang Kabupaten Labuhanbatu Utara. Satreskrim Polres Labuhanbatu berhasil mengungkap tindak pidana persetubuhan dan pencabulan terhadap anak di bawah umur. Ironisnya, dari empat tersangka yang ditangkap, salah satunya adalah ayah kandung korban sendiri.

Kapolres Labuhanbatu, AKBP Choky Sentosa Meliala, menegaskan kasus ini mendapat atensi khusus karena melibatkan orang-orang terdekat korban: mulai dari ayah kandung, paman, hingga teman dekat keluarga.

“Perbuatan ini tidak hanya keji, tapi juga mencerminkan betapa rapuhnya perlindungan anak di lingkungan terdekatnya sendiri,” ujarnya, Kamis (2/10).

Identitas para pelaku pun bikin publik terhenyak. Mereka adalah, R (60), seorang dukun, yang mencabuli korban pada Februari dan Agustus 2025, YS (36), teman ayah korban, melakukan perbuatan bejat pada 2024, S (45), paman kandung korban, mencabuli korban pada April 2025, serta R (49), ayah kandung korban, yang sejak 2020 hingga 2024 secara berulang memperkosa anaknya sendiri saat masih duduk di bangku SD hingga SMP.

Bahkan, menurut keterangan korban, sang ayah pernah menyiksa dengan cara menggantung kaki korban di antara bata dan seng rumah agar korban tak berani melapor.

Dari tangan para pelaku, polisi menyita sejumlah barang bukti seperti pakaian korban, handphone, hingga flashdisk berisi rekaman. Para tersangka dijerat Pasal 81 dan 82 UU Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman 5–15 tahun penjara serta denda hingga Rp 5 miliar. Hukuman dapat diperberat sepertiga karena salah satu pelaku adalah orang tua kandung korban.

Namun, kasus ini memunculkan pertanyaan serius: apakah penegakan hukum saja cukup? Fakta bahwa kekerasan terjadi bertahun-tahun tanpa terendus memperlihatkan minimnya mekanisme perlindungan anak di tingkat lokal.

Pengamat perlindungan anak menilai, pemerintah daerah perlu membangun rumah aman (safe house) khusus yang dilengkapi psikolog, pendamping hukum, serta tempat perlindungan sementara. Tanpa fasilitas itu, anak korban kekerasan seksual kerap tidak punya ruang aman untuk melapor maupun pulih dari trauma.

“Kalau anak harus tetap tinggal bersama pelaku atau lingkaran keluarga pelaku, kasus seperti ini akan terus berulang. Rumah aman bukan hanya kebutuhan, tapi keharusan,” ujar Rindu salah satu aktivis pemerhati anak di Labuhanbatu.

Kasus yang menyeret ayah kandung sebagai pelaku utama ini menjadi alarm keras bagi semua pihak: perlindungan anak bukan hanya tugas polisi, tapi tanggung jawab bersama.(Jr)

Editor : Redaksi