Jakarta, kabari.net — Kontras antara aksi joget Presiden Prabowo Subianto di masa kampanye Pilpres 2024 dengan pidatonya yang berapi-api di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kini menjadi bahan pembicaraan hangat. Banyak pengamat menilai, perubahan drastis ini bukan sekadar penyesuaian gaya, melainkan refleksi dari watak asli seorang militer yang selama ini hanya disamarkan di balik citra “kakek gemoy” yang ramah dan jenaka.
Selama masa kampanye, Prabowo tampil santai, menari di panggung, dan kerap melontarkan humor untuk mencairkan suasana. Strategi citra tersebut terbukti efektif — ia sukses merebut 58 persen suara dan menumbangkan lawan-lawannya dengan pesona populis. Namun setelah setahun menjabat, aura itu tampak memudar. Prabowo kini kembali menunjukkan sosok komandan yang keras dan tidak segan menegur bawahannya di depan publik.
Sikap tegas ini paling mencolok ketika ia membela mati-matian program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang belakangan menjadi polemik nasional. Di tengah sorotan soal efektivitas dan transparansi anggaran, Prabowo justru memperlihatkan gaya kepemimpinan satu arah: perintah jalan dulu, evaluasi nanti.
“Ini program strategis. Tidak ada alasan menunda,” katanya dalam satu kesempatan, dengan nada tinggi yang mengingatkan pada gaya pidato seorang perwira di barak militer.
Menurut Aisah Putri Budiatri, peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), perubahan ini sudah bisa ditebak sejak lama.“Latar belakangnya memang seperti itu. Sejak Pilpres 2014 dan 2019 pun karakternya sudah terlihat. Di pemilu terakhir ini citranya diubah — tapi kini mulai keluar lagi sisi asli: pemimpin yang tegas, kuat, dan punya karakter militeristis,” ujar Aisah.
Kebijakan Prabowo yang cenderung sentralistik dan berorientasi komando mulai terasa di berbagai bidang — mulai dari tata kelola pangan, penguatan pertahanan, hingga pendekatan dalam diplomasi luar negeri yang lebih konfrontatif. Di sisi lain, sejumlah pengamat menilai gaya ini bisa menjadi bumerang, menciptakan iklim ketakutan di lingkaran birokrasi dan menghambat inisiatif kritis dari para menteri.
Setahun setelah euforia “gemoy” mereda, publik kini mulai bertanya: apakah Indonesia sedang dipimpin seorang negarawan, atau seorang komandan yang kembali memimpin dari garis depan?
Sumber : https://www.bbc.com/indonesia/articles/c620402gy84o