Jakarta, kabari net—Kabar tentang adanya nota kesepahaman (MOU) antara Kementerian Pendidikan dan Kapolri yang diklaim melindungi guru dari jeratan pidana ternyata masih menyisakan tanda tanya besar. Di tengah maraknya kasus kriminalisasi terhadap tenaga pendidik, publik justru bertanya-tanya: benarkah ada perlindungan nyata, atau hanya sekadar janji di atas kertas?
Beberapa waktu lalu, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Abdul Mu’ti disebut telah melakukan penandatanganan MoU (Memorandum of Understanding) dengan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Kesepahaman itu dikatakan sebagai bentuk komitmen agar persoalan antara guru dan siswa di sekolah tidak langsung dibawa ke ranah hukum, selama masih bisa diselesaikan secara kekeluargaan.
Namun hingga kini, dokumen MoU itu tak pernah dipublikasikan secara resmi. Tidak ada salinan, tidak ada sosialisasi, dan tidak ada regulasi turunan yang menjamin perlindungan nyata di lapangan. Guru tetap berpotensi dipolisikan, bahkan ketika mereka hanya menjalankan tugas mendidik.
Sejumlah kasus di berbagai daerah menunjukkan pola yang sama: guru dilaporkan, dipanggil, bahkan ditahan, karena dianggap melakukan kekerasan ketika memberi sanksi disiplin kepada murid. Padahal, dalam banyak kasus, tindakan tersebut adalah bagian dari proses pendidikan karakter.
“Negara seperti membiarkan guru berjalan sendirian di ladang ranjau hukum. Satu langkah salah, bisa jadi kriminal,” ujar pengamat pendidikan Prof. Damar Wibowo, menilai lemahnya perlindungan terhadap profesi guru.
Padahal, sejak lama Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) telah menandatangani nota kesepahaman dengan Polri agar kasus semacam ini tidak langsung masuk ke proses pidana, melainkan dikaji lebih dahulu oleh Dewan Kehormatan Guru.
Namun kenyataannya, MoU itu seolah hanya jadi arsip seremonial tanpa daya paksa di lapangan.Hukum tetap berjalan kaku, bahkan pada ruang-ruang pendidikan.Guru yang memukul meja dianggap “kekerasan psikologis”, guru yang menegur keras dianggap “penganiayaan”, sementara niat mendidik dilenyapkan oleh tafsir hukum yang dingin dan formalistis.
Ironisnya, Mahkamah Agung sendiri sudah memberi arah yang jelas lewat Putusan No. 1554 K/Pid/2013, yang menegaskan bahwa guru tidak dapat dipidana jika tindakannya masih dalam kerangka mendidik. Tapi putusan itu jarang dijadikan acuan oleh aparat penegak hukum di tingkat bawah.
“Kalau negara terus diam, jangan salahkan kalau guru berhenti mendidik dan hanya sekadar mengajar,” tegas Ketua Umum PGRI Unifah Rosyidi, dalam salah satu pernyataannya.
Publik kini menunggu langkah nyata:Apakah pemerintah berani memperjelas MoU tersebut menjadi Peraturan Kapolri atau payung hukum nasional yang benar-benar memberikan kepastian dan perlindungan?Atau MoU itu akan tetap menjadi sekadar simbol politik yang tak bergigi — sementara guru-guru terus diburu laporan hukum setiap kali mencoba menegakkan disiplin?

