Oleh: Regen Erasi Sitindaon, Nim: 247005024, Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia.
Reformasi hukum pidana Indonesia memasuki babak baru dengan disahkannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional pada tahun 2022 yang akan berlaku penuh pada tahun 2026.
KUHP baru membawa paradigma hukum pidana yang lebih modern, tidak hanya dalam aspek filosofi, tetapi juga dalam mekanisme pertanggungjawaban pidana yang kini mengakui korporasi sebagai subjek hukum pidana secara eksplisit dan komprehensif.
Salah satu isu strategis dalam pembaharuan ini adalah bagaimana negara mengatur dan menegakkan pertanggungjawaban pidana korporasi, terutama pada tindak pidana yang berdampak luas, seperti kerusakan lingkungan hidup.
Dengan meningkatnya intensitas eksploitasi sumber daya alam, penegakan hukum terhadap korporasi menjadi krusial, mengingat kerusakan lingkungan hampir selalu terjadi dalam skala besar dan melibatkan entitas berbadan hukum.
Pengakuan Korporasi sebagai Subjek Pidana: Paradigma Baru dalam KUHPBerbeda dengan KUHP warisan kolonial, KUHP baru secara tegas menetapkan bahwa korporasi dapat menjadi subjek tindak pidana.
Aturan ini tercermin dalam Buku I yang memuat prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi, termasuk:Korporasi dapat dipidana apabila memenuhi unsur tindak pidana melalui tindakan:pengurus atau organ yang mewakili korporasi, pihak yang bekerja untuk kepentingan korporasi,atau melalui kebijakan, kelalaian, dan pembiaran sistemik yang dilakukan dalam lingkup korporasi.
Pertanggungjawaban dapat bersifat kumulatif, yaitu: korporasi dapat dipidana,pengurus dapat dipidana,atau keduanya sekaligus.Pengaturan ini mempertegas bahwa tindak pidana tidak lagi dipandang sebagai perbuatan individual semata, tetapi juga dapat lahir dari struktur organisasi dan kebijakan bisnis.
Arah Kebijakan Pidana: Mendorong Kepatuhan dan PencegahanKUHP baru menekankan bahwa pidana terhadap korporasi tidak hanya bersifat represif, tetapi juga preventif dan korektif. Pidana yang dapat dijatuhkan mencakup:Denda dalam kategori tinggi, menyesuaikan skala ekonomi korporasi.
Pidana tambahan, seperti:perampasan keuntungan,pemulihan lingkungan,penutupan sementara atau permanen kegiatan usaha,kewajiban melakukan program pemulihan sosial dan ekologis.Kebijakan ini menunjukkan pergeseran orientasi dari sekadar menghukum ke arah mendorong perubahan perilaku korporasi agar patuh terhadap peraturan lingkungan dan standar operasional yang aman dan berkelanjutan.
Keterkaitan KUHP Baru dengan Tindak Pidana Lingkungan HidupWalaupun UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) masih menjadi lex specialis dalam pemidanaan kejahatan lingkungan, keberadaan KUHP baru memperkuat kerangka hukum yang telah ada melalui:
1. Harmonisasi Prinsip PertanggungjawabanPrinsip strict liability, vicarious liability, dan corporate liability yang dikenal dalam UU PPLH kini diperkuat oleh KUHP yang memberikan dasar umum pertanggungjawaban pidana korporasi. Hal ini memudahkan penegak hukum untuk membuktikan kesalahan korporasi dalam konstruksi sistemik.
2. Memperluas Ruang PenegakanKUHP memberikan basis pemidanaan bagi perbuatan yang mungkin tidak diatur secara detail dalam UU PPLH tetapi membahayakan lingkungan, sehingga mempersempit celah hukum yang selama ini dimanfaatkan pelaku usaha.
3. Mendorong Reformasi Penegakan HukumDengan pidana kumulatif, aparat penegak hukum kini dapat menjerat:korporasi sebagai entitas,direksi yang mengambil keputusan,manajer lapangan yang lalai,serta pemodal yang memperoleh keuntungan dari kegiatan ilegal.
Hal ini sangat penting dalam konteks kejahatan lingkungan yang sering dilakukan secara terstruktur dan melibatkan banyak tingkatan pengambil kebijakan.
Kasus Lingkungan sebagai Potret Kebutuhan ReformasiSejumlah kasus, seperti kebakaran hutan dan lahan, pencemaran sungai oleh limbah industri, atau kerusakan ekosistem akibat aktivitas tambang, menunjukkan bahwa kerusakan lingkungan hampir mustahil terjadi tanpa keterlibatan korporasi.
Namun dalam praktik, pembuktian kesalahan korporasi kerap terhambat oleh:sulitnya menelusuri decision-making chain,lemahnya dokumentasi internal,struktur korporasi yang kompleks,serta perbedaan interpretasi terhadap siapa yang bertanggung jawab.
Dengan kerangka KUHP baru yang lebih tegas, aparat penegak hukum memiliki dasar hukum lebih kuat untuk menembus kerumitan struktur korporasi dan menjerat pelaku pada level kebijakan maupun operasional.
Tantangan Implementasi: Antara Ambisi dan Realitas Walau regulasi telah diperkuat, implementasi tidak akan mudah. Tantangannya meliputi: Kapasitas penyidik dan jaksa dalam memahami pola kejahatan korporasi yang menggunakan rekayasa dokumen dan teknologi.
Kepentingan ekonomi daerah, yang terkadang membuat penegakan hukum berjalan di tempat.Minimnya budaya kepatuhan di sebagian pelaku usaha. Kualitas alat bukti, terutama dalam kasus lingkungan yang membutuhkan pendekatan multidisipliner (hukum, biologi, ekologi, geospasial).
Tanpa peningkatan kemampuan teknis aparat dan sinergi antarlembaga, potensi KUHP baru dalam memperkuat penegakan hukum lingkungan bisa tidak optimal.
Penutup: Momentum untuk Reformasi Penegakan Hukum LingkunganKUHP baru menghadirkan landasan kuat bagi Indonesia untuk menegakkan hukum pidana secara lebih adil dan modern.
Pengakuan terhadap pertanggungjawaban pidana korporasi merupakan langkah progresif yang selaras dengan kebutuhan zaman, terutama ketika tantangan kerusakan lingkungan semakin kompleks.
Melalui sinergi KUHP sebagai general principles dan UU PPLH sebagai lex specialis, negara kini memiliki instrumen yang lebih komprehensif untuk memastikan bahwa korporasi tidak hanya mengejar keuntungan, tetapi juga bertanggung jawab terhadap keberlanjutan lingkungan.
Pada akhirnya, pembaharuan hukum pidana ini bukan sekadar dokumen normatif, melainkan pijakan untuk membangun tata kelola lingkungan yang lebih sehat, berkeadilan, dan berkelanjutan bagi generasi mendatang.***

