Jakarta, kabari.net —Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2025 yang merevisi PP No. 24 Tahun 2021 menuai gelombang kritik dari akademisi hingga petani sawit. Regulasi yang mengatur sanksi administratif dan PNBP di sektor kehutanan itu dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum dan mengancam keberlanjutan ekonomi masyarakat di daerah penghasil sawit.
Salah satu pasal yang disorot adalah ketentuan denda Rp25 juta per hektare per tahun, atau 5–7 kali lipat lebih tinggi dari aturan sebelumnya. Pelaku usaha dan petani menilai skema tersebut tidak realistis dan berpotensi menekan industri sawit, yang selama ini menjadi penopang utama devisa dan sumber hidup jutaan keluarga petani.
“Disaat Indonesia sibuk dengan pencitraan sawit berkelanjutan, regulasinya justru menekan petani,” ujar Ketua Umum APKASINDO, Dr. Gulat ME Manurung, Jumat (10/10).
Data Kementerian Dalam Negeri menunjukkan gejala penurunan daya beli di sejumlah provinsi penghasil sawit.Sekjen Kemendagri Tomsi Tohir melaporkan inflasi di daerah sentra sawit seperti Sumatera Utara, Riau, Aceh, dan Sumatera Barat telah menembus 5 persen.
“Inflasi di atas 5 persen merupakan sinyal serius bagi pemerintah daerah dan pusat,” kata Tomsi dalam rapat pengendalian inflasi daerah di Jakarta (6/10).
Gulat Manurung menyebut lonjakan inflasi tersebut berkorelasi dengan gejolak kebijakan sawit dalam 10 bulan terakhir, termasuk SK Menhut No. 36/2025, Perpres No. 5/2025, dan PP No. 45/2025.Menurutnya, 42% dari total 16,5 juta hektare kebun sawit nasional dikelola oleh petani rakyat yang melibatkan lebih dari 16 juta tenaga kerja.
“Dampaknya langsung dan berlapis, mulai dari daya beli hingga stabilitas ekonomi lokal,” ujarnya.
Guru Besar IPB University, Prof. Budi Mulyanto, menilai PP 45/2025 bertolak belakang dengan semangat Undang-Undang Cipta Kerja, yang seharusnya memberikan solusi legalisasi bagi lahan sawit yang terlanjur di kawasan hutan.
“PP 45/2025 berubah dari pendekatan pembinaan menjadi regulasi yang menghukum. Istilah seperti ‘penguasaan kembali’, ‘pemblokiran rekening’, hingga ‘pencegahan ke luar negeri’ menimbulkan ketakutan di kalangan pelaku usaha,” jelasnya.
Prof. Budi juga menyoroti denda Rp25 juta per hektare per tahun sebagai kebijakan tanpa dasar ilmiah yang jelas.
“Bagi petani kecil, ini mustahil dibayar. Kebun berumur 15 tahun bisa kena denda Rp250 juta per hektare. Itu bukan solusi, tapi bencana,” tegasnya.
Ia menambahkan akar masalah sebenarnya terletak di Kementerian Kehutanan, yang belum menjalankan proses penetapan kawasan hutan sesuai UU No. 41 Tahun 1999 dan Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011.
“Penunjukan kawasan hutan tanpa penetapan resmi tidak sah secara hukum, tapi faktanya diabaikan. Akibatnya fatal bagi petani dan perekonomian nasional,” ujarnya.
APKASINDO berharap Presiden Prabowo Subianto segera menempuh langkah afirmatif untuk melindungi petani sawit.
“Kami yakin Presiden berpihak pada kesejahteraan petani sawit. Tapi saya imbau petani jangan reaktif dulu,” tutur Gulat.
Baik kalangan akademisi maupun asosiasi petani sepakat, industri sawit adalah tulang punggung ekonomi nasional, sehingga setiap regulasi harus berbasis kajian ilmiah dan proporsional, bukan bersifat menghukum.(Kn001)
Editor : Redaksi